Hukum Perburuhan adalah seperangkat aturan dan norma baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur pola hubungan industrial antara pengusaha, di satu sisi, dan pekerja atau buruh, di sisi yang lain. Menurut Prof. Imam Supomo adalah suatu himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak, yang berkenaan dengan suatu kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.
UNSUR HUKUM PERBURUHAN
Unsur - unsur hukum perburuhan adalah:
a. Serangkaian peraturan
b. Peraturan mengenai suatu kejadian
c. Adanya orang yang bekerja pada orang lain
d. Adanya balas jasa yang berupa upah.
e. Upah : hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha/pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dengan perjanjian kerja.
f. Hubungan kerja : terjadi karena adanya perjanjian kerja antara majikan dengan pekerja/buruhnya (biasanya dalam bentuk kontrak tertulis). Dasar perjanjian kerja:
· Kesepakatan
· Kecakapan melakukan perbuatan hokum
· Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
· Pekerjaan yang diberikan tidak bertentangan dengan UU, ketertiban umum &
kesusilaan.
kesusilaan.
g. Perjanjian kerja: ditanda-tangani oleh kedua belah pihak baik oleh bos atau pemimpin perusahaan dan juga oleh buruh/karyawan. Perjanjian kerja tersebut memuat:
· Nama, alamat perusahaan dan jenis usaha
· Identitas pekerja
· Jabatan dan jenis pekerjaan
· Tempat pekerjaan
· Besarnya upah
· Tanda tangan para pihak.
RUANG LINGKUP
Ada 4 lingkup Laku Hukum antara lain:
a. Lingkup Laku Pribadi (Personengebied)
Yang termasuk dalam lingkup ini adalah buruh, pengusaha dan pengusaha (pemerintah).
Yang termasuk dalam lingkup ini adalah buruh, pengusaha dan pengusaha (pemerintah).
b. Lingkup Laku Menurut Waktu (Tijdsgebied)
Didalam Hukum Perburuhan, ada peristiwa – peristiwa tertentu yang timbul pada waktu berbeda yaitu:
Didalam Hukum Perburuhan, ada peristiwa – peristiwa tertentu yang timbul pada waktu berbeda yaitu:
· Sebelum Hubungan Kerja terjadi
· Pada saat hubugnan kerja terjadi
· Sesudah hubungan kerja terjadi
c. Lingkup Laku menurut Wilayah (Ruimtegebied)
Pembatas wilayah berlakunya kaedah Hukum Perburuhan mencakup hal – hal sebagai berikut:
Pembatas wilayah berlakunya kaedah Hukum Perburuhan mencakup hal – hal sebagai berikut:
· Regional
Dalam hal ini dapat dibedakan dua wilayah, yaitu Non – sektoral Regional dan Sektoral Regional.
Dalam hal ini dapat dibedakan dua wilayah, yaitu Non – sektoral Regional dan Sektoral Regional.
· Nasional
Dalam hal ini juga mencakup dua wilayah berlakunya hukum perburuhan, yaitu Non – Sektoral Nasional dan Sektor Nasional.
Dalam hal ini juga mencakup dua wilayah berlakunya hukum perburuhan, yaitu Non – Sektoral Nasional dan Sektor Nasional.
d. Lingkup Waktu Menurut Hal Ikhwal
Dilihat dari materi muatan Hukum Perburuhan, maka dapat di golongkan kedalam beberapa hal, diantaranya:
Dilihat dari materi muatan Hukum Perburuhan, maka dapat di golongkan kedalam beberapa hal, diantaranya:
· Hal – hal yang berkaitan dengan Hubungan Kerja atau Hubungan Perburuhan.
· Hal – hal yang berkaitan dengan Perlindungan Jaminan Sosial dan Asuransi Tenaga Kerja.
· Hal – hal yang berkaitan dengan Keselamatan Kerja dan Kesehatan Kerja.
· Hal – hal yang berkaitan dengan masalah penyelesaian perselisihan perburuhan dan pemutusan hubungan kerja.
· Hal – hal yang berkaitan dengan masalah pengerahan Tenaga Kerja dan Rekrutmen.
UNDANG UNDANG YANG MENGATUR TENTANG PERBURUHAN
Undang – undang yang mengatur tentang perburuhan dan hal – hal yang berakaitan dengan perburuhan adalah :
1. UU No. 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan
2. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
3. UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kriteria dan Status Perlindungan Buruh
4. UU No. 12 Tahun 1964 tentang PHK
5. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
3. UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kriteria dan Status Perlindungan Buruh
4. UU No. 12 Tahun 1964 tentang PHK
5. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
UU No. 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan
Pasal 1
Pasal 1 ini memuat tentang definisi awal perjanjian perburuhan. Perjanjian perburuhan ini adalah perjanjian antara serikat buruh yang terdaftar dalam Kementrian Perburuhan dengan perkumpulan majikan yang berbadan hukum. Pada ayat 2 dikatakan bahwa perjanjian perburuhan ini dapat diselenggarakan untuk pekerjaan borongan atu perjanjian melakukan suatu pekerjaan yang diatur dalam ketentuan-ketentuan yang ada. Disebutkan juga pada ayat 3 bahwa majikan diwajibkan untuk tidak melihat pada suatu golongan tertentu dalam menerima atau menolak buruh.
Pasal 2
Disebutkan bahwa perjanjian perburuhan harus dibuat dengan surat resmi atau surat yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak. Dan aturan-aturan mengenai cara membuat dan mengatur perjanjian diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah.
Pasal 3
Perjanjian yang telah dibuat pada pasal 2 wajib diberitahukan dan diketahui oleh anggota-anggota serikat buruh dan perkumpulan majikan yang terlibat. Termasuk juga keterangan-keterangan dan perubahan-perubahan dalam perjanjian perburuhan tersebut harus diketahui oleh semua pihak dan anggota yang terlibat.
Pasal 4
Disebutkan bahwa serikat buruh dan perkumpulan majikan wajib dan bertanggung jawab agar anggota-anggotanya memenuhi aturan-aturan yang berlaku bagi mereka.
Pasal 5
Majikan dan buruh yang terikat oleh perjanjian perburuhan, wajib melaksanakan perjanjian itu sebaik-baiknya.
Pasal 6
Disebutkan bahwa pihak yang terlibat dalam perjanjian perburuhan telah terikat oleh perjanjian dan bertanggung jawab terhadap masing-masing pihak dalam menepati segala aturan yang telah ditentukan bagi mereka.
Pasal 7
Pasal 7 ini menyebutkan bahwa anggota serikat buruh atau perkumpulan majikan tetap terikat oleh perjanjian perburuhan meskipun telah kehilangan keanggotaanya. Bila waktu berlakunya perjanjian telah diperpanjang, mereka hanya terikat sampai pada waktu berlakunya perjanjian itu. Namun apabila perjanjiannya telah berubah, maka mereka tidak lagi terikat dalam perjanjian tersebut.
Pasal 8
Pembubaran sesuatu serikat buruh atau perkumpulan majikan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan, tidak mengubah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersangkutan dengan perjanjian tersebut.
Pasal 9
Disebutkan bahwa aturan perjanjian kerja antara seorang buruh dan seorang majikan yang bertentangan dengan perjanjian perburuhan yang mengikat kedua pihak dikatakan tidak sah. Hal-hal yang tidak sah itu dapat diajukan oleh tiap pihak dalam perjanjian perburuhan.
Pasal 10
Bilamana suatu perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang ditetapkan didalam perjanjian perburuhan yang mengikat buruh dan majikan itu juga, maka aturan-aturan perjanjian perburuhan itulah yang berlaku.
Pasal 11
Pasal 11 ini memuat kewenangan menteri perburuhan. Menteri perburuhan dapat menetapkan seorang majikan untuk memenuhi sebagian atau semua aturan dalam perjanjian perburuhan yang mengikat majikan tersebut, walaupun majikan tersebut membuat perjanjian kerja dengan seorang buruh yang tidak terikat dalam perjanjian perburuhan itu. Pada ayat 2 dikatakan juga bahwa menteri perburuhan dapat pula menetapkan apakah sebagian atau seluruh perjanjian perburuhan dipenuhi oleh buruh-buruh dan majikan-majikan dari lapang usaha yang sama walaupun tidak terikat oleh perjanjian tersebut.
Pasal 12
Seorang majikan atau perkumpulan majikan yang terikat oleh sesuatu perjanjian perburuhan, tidak dapat menyelenggarakan perjanjian perburuhan dengan serikat buruh lain, yang memuat syarat-syarat kerja yang kurang dari pada yang termuat dalam perjanjian perburuhan yang sudah ada.
Pasal 13
Pasal 13 ini berisi tentang ganti rugi dalam suatu perjanjian perburuhan. Serikat buruh dan perkumpulan majikan dapat meminta ganti rugi kepada pihak lain atau seorang anggotanya yang bertindak bertentangan dengan kewajibannya dalam perjanjian perburuhan, kerugian yang dideritanya sendiri maupun kerugian yang diderita oleh anggota-anggotanya.
Pasal 14
Bilamana kerugian itu tidak mungkin dinyatakan dengan uang, maka pengganti kerugian itu ditetapkan berupa sejumlah uang atas dasar keadilan.
Pasal 15
Pasal 15 menyebutkan bahwa mengenai pengganti kerugian didalam perjanjian perburuhan, dapat ditetapkan aturan-aturan denda, yang menyimpang dari ketentuan tersebut dalam pasal 12 dan 13. Aturan denda ini dapat diubah oleh pengadilan, bilamana kewajiban yang dikenakan hukuman itu untuk sebagian telah dipenuhi.
Pasal 16
Disebutkan bahwa sesuatu perjanjian perburuhan hanya dapat diselenggarakan untuk paling lama 2 tahun. Waktu itu dapat diperpanjang dengan paling lama 1 tahun lagi.
Pasal 17
Menyebutkan bahwa masing-masing pihak pada perjanjian perburuhan, karena alasan-alasan yang memaksa, dapat minta kepada pengadilan supaya membatalkan sebagian atau seluruhnya perjanjian itu. Sesuatu aturan didalam perjanjian itu, yang mengurangi atau melenyapkan ketentuan pada ayat 1, adalah tidak sah.
Pasal 18
Walaupun sesuatu perjanjian perburuhan diselenggarakan untuk waktu yang tertentu, maka jika didalam perjanjian itu tidak ada ketentuan yang lain, perjanjian itu dianggap sebagai diperpanjang terus menurut untuk waktu yang sama tetapi tidak lebih dari satu tahun, kecuali jika ada pernyataan untuk mengakhiri. Pernyataan itu harus diberitahukan sekurang-kurangnya satu bulan sebelum waktu yang dimaksudkan itu habis.
Pasal 19
Pernyataan mengakhiri perjanjian perburuhan harus disampaikan kepada semua pihak dalam perjanjian itu dan hanya dapat dilakukan dengan surat tercatat.
Pasal 20
Bilamana didalam perjanjian perburuhan tidak ada ketentuan yang lain, maka karena pernyataan untuk mengakhiri itu, perjanjian tersebut berhenti berlaku bagi semua pihak pada perjanjian itu.
Pasal 21
Perjanjian perburuhan yang berlaku pada hari undang-undang ini mulai berlaku, tetap berlaku sampai pada waktu berlakunya itu habis atau perjanjian itu diubah; didalam hal itu selanjutnya harus diturut aturan-aturan didalam undang-undang ini.
Pasal 22
Undang-undang ini disebut “Undang-undang perjanjian perburuhan tahun 1954″.
Pasal 23
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kriteria dan Status Perlindungan Buruh
Bagian I
Bagian pertama dalam undang-undang ini berisi penjelasan awal mengenai istilah-istilah yang akan muncul pada undang-undang ini, seperti definisi dari pekerjaan, orang dewasa orang muda, anak-anak, hari, siang hari, malam hari, seminggu, malam hari, seminggu, majikan, dan perusahaan. Majikan termasuk juga
kepala, pemimpin atau pengurus perusahaan, atau bagian perusahaan. Perusahaan ialah segala
tempat pekerjaan, dari Pemerintah maupun partikelir.
Bagian II
Bagian II berisi tentang pekerjaan dan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti larangan yang tidak boleh dilakukan dalam melakukan pekerjaan. Orang muda tidak boleh menjalankan pekerjaan
di dalam tambang, lobang di dalam tanah atau tempat untuk mengambil logam dan
bahan-bahan lain dari dalam tanah. Orang muda tidak boleh menjalankan pekerjaan
yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatannya.
Bagian III
Bagian tiga ini berisi penjelasan mengenai pekerjaan seorang buruh wanita dan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pekerjaan seorang buruh wanita.
Bagian IV
Bagian empat ini berisikan aturan mengenai waktu kerja dan waktu isitrahat buruh. Bagian ini adalah yang paling penting untuk diketahui dan dipahami setiap buruh.
Pasal 10
(1) Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan
lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu. Jikalau pekerjaan dijalankan pada malam hari
atau berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh, waktu kerja tidak boleh lebih
dari 6 jam sehari dan 35 jam seminggu.
(2) Setelah buruh menjalankan pekerjaan selama 4
jam terus menerus harus diadakan waktu istirahat yang sedikitsedikitnya setengah jam
lamanya; waktu istirahat itu tidak termasuk jam bekerja termaksud dalam ayat (1).
(3) Tiap-tiap minggu harus diadakan
sedikit-sedikitnya satu hari istirahat.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan
pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh termaksud dalam ayat (1).
(5) Dalam Peraturan Pemerintah dapat pula
diadakan aturanaturan lebih lanjut tentang waktu kerja dan waktu istirahat untuk
pekerjaan-pekerjaan atau perusahaanperusahaan yang tertentu yang dipandang perlu untuk menjaga
kesehatan dan keselamatan buruh.
Pasal 11
Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan pada
hari-hari raya, yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, kecuali jikalau pekerjaan
itu menurut sifatnya harus dijalankan terus pada hari-hari raya itu.
Pasal 12
(1) Dalam hal-hal, dimana pada suatu waktu atau
biasanya pada tiap-tiap waktu atau dalam masa yang tertentu ada pekerjaan yang
bertimbun-timbun yang harus lekas diselesaikan, boleh dijalankan pekerjaan dengan menyimpang dari yang
ditetapkan dalam pasal 10 dan 11, akan tetapi waktu kerja itu tidak boleh
lebih dari 54 jam seminggu. Aturan ini tidak berlaku terhadap pekerjaan yang
berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh.
(2) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan
hal-hal termaksud dalam ayat (1) beserta syarat-syarat untuk menjaga kesehatan dan
keselamatan buruh.
Pasal 13
(1) Buruh Wanita tidak boleh diwajibkan bekerja
pada hari pertama dan kedua waktu haidh;
(2) Buruh Wanita harus diberi
istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan melahirkan anak dan satu
setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur-kandung.
(3) Waktu istirahat sebelum saat buruh wanita
menurut perhitungan akan melahirkan anak, dapat diperpanjang sampai selama-lamanya tiga
bulan jikalau didalam suatu keterangan dokter dinyatakan, bahwa hal itu perlu untuk
menjaga kesehatannya.
(4) Dengan tidak mengurangi yang telah
ditetapkan dalam pasal 10 ayat (1) dan (2) buruh wanita yang anaknya masih menyusu harus diberi
kesempatan sepatutnya untuk menyusukan anaknya, jikalau hal itu harus dilakukan selama
waktu-kerja.
Pasal 14
(1) Selain waktu istirahat seperti tersebut
dalam pasal 10 dan 13, buruh yang menjalankan pekerjaan untuk satu atau beberapa majikan dari
satu organisasi harus diberi idzin untuk beristirahat sedikit-sedikitnya dua minggu
tiap-tiap tahun.
(2) Buruh yang telah bekerja 6 tahun
berturut-turut pada suatu majikan atau beberapa majikan yang tergabung dalam satu organisasi mampunyai
hak istirahat 3 bulan lamanya.
Pasal 15
(1) Dengan tidak mengurangi yang telah
ditetapkan dalam pasal 10 ayat (1) dan (2), buruh harus diberi kesempatan yang sepatutnya untuk
menjalankan kewajiban menurut agamanya.
(2) Pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari
kewajiban bekerja.
Bagian V
Bagian lima ini berisi mengenai tempat kerja dan perumahan buruh. Tempat kerja dan perumahan buruh yang
disediakan oleh majikan harus memenuhisyarat-syarat kesehatan dan kebersihan. Pegawai-pegawai pengawasan perburuhan yang
ditunjuk oleh Menteri yang diserahi urusan Perburuhan berhak untuk memberi
perintah-perintah tentang penjagaan kebersihan dan kesehatan dalam tempat kerja dan perumahan buruh
yang disediakan oleh majikan.
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah
pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan/majikan. Hal ini
dapat terjadi karena pengunduran diri, pemberhentian oleh perusahaan atau habis
kontrak. PHK hanya dapat dilakukan bila kaidah-kaidah
yang terdapat dalam undang-undang dilanggar. Undang-undang ini membahas tentang
PHK, yang dilakukan oleh pengusaha agar pengusaha tidak memeberhentikan pekerja
secara sepihak dengan alasan-alasan tertentu.
Menurut
pasal 61 Undang – Undang No. 13 tahun 2003 mengenai tenaga kerja, perjanjian
kerja dapat berakhir apabila :
- pekerja meninggal dunia
- jangka waktu kontak kerja telah berakhir
- adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
- adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
- pihak yang mengakhiri perjanjian kerja sebelum jangka waktu yang ditentukan, wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Menurut UU No. 13 tahun 2003 mengenai
Ketenagakerjaan, pihak perusahaan dapat saja melakukan PHK dalam berbagai
kondisi seperti di bawah ini:
- Pekerja melakukan kesalahan berat. Pekerja yang diputuskan hubungan kerjanya berdasarkan kesalahan berat hanya dapat memperoleh uang pengganti hak sedang bagi pekerja yang tugas dan fungsi tidak mewakili kepentingan perusahaan secara langsung,selain memperoleh uang pengganti, juga diberikan uang pisah yang besarnya diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
- Pekerja ditahan pihak yang berwajib. Perusahaan dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap pekerja setelah 6 (enam) bulan tidak melakukan pekerjaan yang disebabkan masih dalam proses pidana. Dalam ketentuan bahwa perusahaan wajib membayar kepada pekerja atau buruh uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ditambah uang pengganti hak, apabila Pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum 6 (enam) bulan dan pekerja dinyatakan tidak bersalah, perusahaan wajib mempekerjakan kembali.
- Perusahaan mengalami kerugian. Apabila perusahaan bangkrut dan ditutup karena mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, perusahaan dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap pekerja dan perusahaan wajib memberikan uang pesangon 1 (satu) kali ketentuan dan uang pengganti hak.
- Pekerja mangkir terus menerus. Perusahaan dapat memutuskan hubungan kerja apabila pekerja tidak masuk selama 5 hari berturut-turut tanpa keterangan tertulis yang dilengkapi bukti-bukti yang sah meskipun telah dipanggil 2 kali secara patut dan tertulis oleh perusahaan. Dalam situasi seperti ini, pekerja dianggap telah mengundurkan diri.
- Pekerja meninggal dunia. Hubungan kerja otomatis akan berakhir ketika pekerja meninggal dunia. Perusahaan berkewajiban untuk memberikan uang yang besarnya 2 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak.
- Pekerja melakukan pelanggaran. Pelanggaran terhadap perjanjian yang ada tentunya ada sangsi yang berupa teguran lisan atau surat tertulis, sampai ada juga yang berupa surat peringatan. Sedang untuk surat peringatan tertulis dapat dibuat surat peringatan ke I, ke II, sampai ke III.
UU No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja
Pemutusan hubungan kerja dilarang:
a. selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus-menerus.
b. selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap Negara yang ditetapkan oleh Undang-undang atau Pemerintah atau karena menjalankan ibadat yang diperintahkan agamanya dan yang disetujui Pemerintah.
Namun, tidak ada jaminan perusahaan selalu berhasil dalam bisnis. Untuk menjalankan operasinya, perusahaan harus untung. Dengan keuntungan ini, perusahaan dapat beroperasi normal dan berkembang. Tidak semua perusahaan berujung dengan kesuksesan, perusahaaan pun bisa merugi. Pada kondisi ini, pimpinan perusahaan bisa membuat beberapa opsi untuk menyelamatkan perusahaan. Dan salah satu opsi adalah melakukan PHK dengan alasan efisiensi. Tetapi ada ketentuan-ketentuan suatu perusahaan negri/swasta untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)tersebut. Maka UU Perburuhan No.12 Th 1964 diharapkan menjadi pedoman yang bijak untuk menyelesaikan masalah ini.
a. selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus-menerus.
b. selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap Negara yang ditetapkan oleh Undang-undang atau Pemerintah atau karena menjalankan ibadat yang diperintahkan agamanya dan yang disetujui Pemerintah.
Namun, tidak ada jaminan perusahaan selalu berhasil dalam bisnis. Untuk menjalankan operasinya, perusahaan harus untung. Dengan keuntungan ini, perusahaan dapat beroperasi normal dan berkembang. Tidak semua perusahaan berujung dengan kesuksesan, perusahaaan pun bisa merugi. Pada kondisi ini, pimpinan perusahaan bisa membuat beberapa opsi untuk menyelamatkan perusahaan. Dan salah satu opsi adalah melakukan PHK dengan alasan efisiensi. Tetapi ada ketentuan-ketentuan suatu perusahaan negri/swasta untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)tersebut. Maka UU Perburuhan No.12 Th 1964 diharapkan menjadi pedoman yang bijak untuk menyelesaikan masalah ini.
KESIMPULAN
Hukum Perburuhan pada dasarnya adalah sebuah hukum yang mengatur tentang perburuhan atau ketenaga-kerjaan. Perjanjian perburuhan ini terjadi antara suatu serikat buruh dan perkumpulan majikan yang menyelenggarakan perjanjian kerja. Perjanjian kerja yang dibuat harus sesuai dengan perjanjian perburuhan atau hukum perburuhan yang telah dibuat dan mengikat kedua pihak. Semua hal-hal yang berkaitan dengan perjanjian perburuhan tersebut telah diatur dalam suatu undang-udang yaitu UU No. 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan. Buruh juga mendapat perlindungan yang jelas mengenai pekerjaan, tempat tinggal dan statusnya yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kriteria dan Status Perlindungan Buruh. Selain itu, untuk menertibkan penyelenggaraan suatu perjanjian kerja, dibuatlah suatu aturan mengenai pemutusan hubungan kerja yang jelas, alasan logis dan syarat-syarat terjadinya PHK yang diatur dalam UU No. 13 tahun 2003 dan UU No. 12 Tahun 1964.
SUMBER
The Best 5 Casinos in Las Vegas - MapyRO
BalasHapusLas 삼척 출장샵 Vegas 양산 출장안마 is a 서산 출장안마 city popular with tourists because of its bustling casino and vibrant 문경 출장마사지 nightlife. The casino is home 논산 출장샵 to a 3-star hotel, 5 restaurants